Selasa, 12 April 2011

Agama dan Moralitas


Wakil rakyat kita yang terhormat kembali berulah. Kali ini Arifinto, anggota Komisi V DPR RI yang kedapatan asyik menonton video porno di tengah sidang rapat paripurna. Ironisnya, Arifinto adalah anggota DPR dari Fraksi PKS, sebuah partai religius yang selama ini lantang menentang pornografi. Kenyataan ini sontak menuai respon negatif publik serta menjadi bahan olok-olok di berbagai situs jejaring sosial. PKS merupakan salah satu fraksi yang mendukung RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang kontroversial beberapa waktu lalu. Menkominfo Tifatul Sembiring yang mengeluarkan kebijakan memblokir situs porno pun berasal dari partai ini. Arifinto sendiri di lingkungannya dikenal sebagai seorang ustadz yang berwibawa. Hanya karena keteledoran beberapa menit, citranya hancur dan karir politik yang telah dibangunnya selama ini terancam kandas. Nasib yang sangat tragis untuk seorang ustadz dan tokoh politik panutan umat.

Selama ini agama selalu dikaitkan dengan moralitas. Hanya orang-orang beragama yang dianggap mampu menunjukkan sikap bermoral dan berintegritas. Semakin taat beragama, semakin bermoral lah ia. Sebaliknya semakin jauh dari agama, semakin bejat lah ia. Namun kasus Arifinto sekali lagi memberikan bukti bahwa mereka yang dianggap taat beragama tidak selalu bermoral bahkan saat diukur dengan standar moralnya sendiri.
Moralitas adalah standar yang kita gunakan untuk menentukan baik dan buruk. Yang menjadi pertanyaan, dari mana kah sumber moralitas tersebut? Orang-orang beragama akan mengangkat tinggi-tinggi kitab suci mereka sebagai sumber moralitas tertinggi, panduan ilahi untuk menentukan baik dan buruk. Agama mungkin saja mengatakan 'Jangan membunuh'. Tapi jika agama tidak mengatakan hal itu, apakah kita tidak tahu bahwa membunuh itu salah? Belum diketahui pasti bagaimana mekanisme moral bekerja dalam diri kita, namun manusia memang memiliki suatu alarm moral yang tertanam dalam dirinya. Saat melihat seorang nenek terjatuh dari tangga, alarm kita seketika akan berbunyi dan menyuruh kita berbuat sesuatu untuk menolongnya. Begitu pula saat melihat Arifinto yang digaji oleh keringat rakyat itu asyik menonton video porno di tengah sidang paripurna, alarm kita segera berbunyi untuk mengecamnya. Dan hal ini tidak ada hubungannya dengan perintah dalam agama.

Moralitas mungkin saja diperdebatkan serta dipertentangkan. Sebagian orang akan setuju bahwa wanita yang berpakaian minim itu tidak bermoral, tapi sebagian lain mungkin tidak menyetujuinya. Beragam alasan pun dapat mengemuka. Tapi ketika agama dipaksakan sebagai sumber moralitas dalam masyarakat, perdebatan ini akan rawan untuk dihentikan secara arogan. Agama itu suci dan absolut, sehingga standar yang telah ditetapkannya tak boleh dipertanyakan apalagi digugat. Arifinto di hati kecilnya bisa saja ingin menyetujui pornografi dan sudah terbukti menikmatinya. Tapi dia adalah seorang ustadz dan tafsir agamanya sudah menetapkan pornografi sebagai konten immoral. Maka jadi lah manusia munafik yang tidak integral antara standar moral dengan perilakunya. Di depan publik berteriak menolak pornografi, tapi diam-diam menikmatinya.
Agama bahkan dapat mengandung standar moral yang bertentangan dengan alarm moral kita sendiri. Umat Islam di Indonesia yang menolak penerapan syariat hukum rajam menunjukkan bahwa alarm moral mereka masih bekerja sehingga mampu menolak mekanisme hukuman sadis semacam itu.

Kita bisa menyebut alarm itu nurani, fitrah, intuisi, atau apa pun. Dan itu merupakan cara paling alami yang kita gunakan sebagai panduan dalam menjalani hidup. Mengikutinya secara jujur akan mendatangkan kedamaian jiwa, sesederhana itu. Tak perlu disogok surga atau ditakut-takuti dengan neraka seperti standar moral yang tertuang dalam agama. Seperti lirik sufi yang didendangkan Ahmad Dhani, "Jika surga dan neraka tak pernah ada, masih kah kau bersujud pada-Nya?"