Sabtu, 05 Maret 2011

Agama Sebagai Produk Budaya


 Religion.... is 'Here is an idea or a notion that you're not allowed to say anything bad about; you're just not. Why not? — because you're not!' - Douglas Adams


Dalam iklim ilmiah saat ini di mana nyaris segala teori dan premis telah ditantang dan dipertanyakan secara empirik, agama merupakan satu-satunya pengecualian. Dia dianggap suci, agung, jauh di atas segalanya. Maka untuk alasan apa pun, kita dilarang untuk mempertanyakan apalagi mengritik doktrin-doktrin yang telah dibakukan dalam agama. Hal ini tentu menjadi batu sandungan bagi kita orang-orang yang menjunjung tinggi rasionalitas dan kebebasan berpikir. 
Perkembangan hermeneutika dan biblical criticism dalam beberapa abad terakhir telah membawa sebuah pencerahan baru yang mengubah cara pandang kita selama ini terhadap agama. Arkeologi dan linguistik menyediakan metode ilmiah untuk melihat agama dari sudut pandang historis yang lengket budaya. Sementara perkembangan sejumlah cabang sains lainnya juga terus menggerus otoritas teks-teks keagamaan yang semula dianggap mutlak dan suci dari kesalahan. Berikut akan kita paparkan bersama sejumlah argumen yang membuktikan agama sebagai produk kultural yang tidak lepas dari bingkai sejarah manusia.

1. Teks-teks agama tertulis dalam bahasa dan huruf. kenyataan ini merupakan bukti paling kasat, karena sistem bahasa dan tulisan merupakan produk budaya manusia. Bahasa verbal oral yang mencakup unsur-unsur semantik dan gramatikal merupakan bagian dari sistem komunikasi yang dikembangkan oleh spesies kita sejak ribuan tahun yang lalu dalam mengakomodir kebutuhan bertukar informasi yang semakin kompleks. Bahasa tertulis berkembang belakangan, menandai fase baru dimulainya pencatatan sejarah manusia.Pembentukan karakter huruf dan sistem tulisan yang kompleks pun berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan menjadi salah satu jejak kebudayaan terpenting manusia.
Hingga saat ini, terdapat ribuan bahasa dan sistem tulisan yang semuanya merupakan produk budaya manusia. Semua bentuk artifak tertulis menggunakan salah satu dari sekian banyak bahasa dan sistem tulisan tersebut. Tak terkecuali kitab-kitab suci pun menggunakannya. Alkitab tertulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani, menggunakan sistem tulisan Ibrani dan Yunani yang berkembang perlahan-lahan dalam kebudayaan Laut Tengah. Al-Qur'an menggunakan bahasa dan huruf Arab yang berevolusi dari sistem tulisan Syriac dan rumpun bahasa Semitik. Bhagawad Gita menggunakan bahasa Sanskrit yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Indo-Arya. Begitu pula kitab-kitab lainnya. Berbagai doa liturgis, mantra, dzikir, dan ekspresi keagamaan lainnya termasuk nama Tuhan seluruhnya tertuang dalam bahasa dan sistem tulisan.
Menghadapi kenyataan ini, otoritas agama kerap berkilah dengan melakukan klaim bahwa bahasa kitab mereka adalah bahasa suci yang berbeda dari bahasa-bahasa lainnya. Begitu pula huruf-hurufnya merupakan huruf suci yang berbeda dari sistem tulisan lainnya. Klaim ini selain tidak memiliki dasar juga menunjukkan narsisme dan obsesi terhadap konsep kesucian yang membabi buta. Point ini menjadi bukti terkuat bahwa agama adalah produk budaya.

2. Antropomorfisme dan fitur-fitur budaya bertebaran dalam agama. Tuhan yang berbicara, yang melihat, yang mendengar, yang berbelas kasih, yang mengutuk dan murka adalah bukti bahwa konsep Tuhan dalam agama dikonstruksi berdasarkan refleksi tentang manusia itu sendiri. Tuhan dibayangkan sebagai sesuatu yang berpikir, yang memiliki emosi serta kehendak seperti manusia. Agama mengatributkan titel-titel sosial kepada Tuhan seperti Bapa, Raja, Tuan, dan sebagainya, yang semuanya bersumber pada sistem hierarki dalam masyarakat manusia. 
Konsep-konsep dalam agama juga sarat mengandung fitur-fitur budaya. Alat-alat musik seperti seruling dan sitara, senjata perang seperti pedang dan panah, kendaraan seperti kereta kuda dan perahu, semua merupakan produk budaya manusia dan disebutkan berulang kali dalam teks-teks agama. Malaikat yang membawa pedang atau pun dewa yang bermain seruling merupakan contoh ironis bagaimana makhluk-makhluk ilahi tersebut menggunakan barang-barang penemuan manusia. Mereka juga digambarkan memiliki fisik dan berpakaian sesuai kebudayaan tempatnya berkembang. Dewa-dewi Romawi mengenakan toga dan memainkan harpa, Para daka dan dakini menari dengan balutan gaun India, sementara para malaikat Persia mengenakan jubah dan sorban. Tak diragukan lagi, agama bertumpu pada sistem kebudayaan di mana ia tumbuh. Setiap praktek keagamaan pun pada dasarnya tak dapat dipisahkan dari kebudayaan.

3. Isolasi dari budaya yang jauh. Agama-agama kuno umumnya berkembang dalam ruang lingkup geografis dan budaya tertentu, sehingga gagal dalam mengenali adanya budaya dan tradisi lain di belahan dunia yang berbeda. Alkitab sangat spesifik dalam mengenali bangsa-bangsa yang menghuni kawasan pesisir timur Mediterania pada sekitar 2.500 tahun yang lalu. Tapi di saat yang sama ia gagal mengenali adanya kebudayaan yang berkembang di India dan Cina dengan sistem kepercayaan berbeda. Al-Qur'an berhasil mengidentifikasi adanya kelompok-kelompok agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Sabi'an. Tapi ia gagal mengenali kelompok-kelompok agama yang berkembang di tempat yang terlalu jauh dari Arab. Sebaliknya agama-agama di India dan Cina pun gagal mengidentifikasi bentuk-bentuk kebudayaan dan sistem kepercayaan yang berkembang di Timur Tengah dan Eropa. Seluruh agama kuno di Asia, Eropa, dan Afrika gagal mengidentifikasi kebudayaan di benua Amerika, dan sebaliknya. Ini membuktikan bahwa lingkup pengetahuan agama terbatas hanya pada budaya lokal dan regional di mana ia lahir.           

Kenyataan bahwa agama merupakan produk budaya berimplikasi pada sikap kita dalam menghadapinya. Agama tak perlu lagi disakralkan dan ditakuti sedemikian rupa dengan ancaman dosa dan neraka. Kita tidak bermaksud untuk mengesampingkan nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam agama. Namun dengan memahami hal ini, kita dapat lebih jernih dan bijak dalam memilah dan mengambil keputusan moral dalam hidup kita. Klaim-klaim usang seperti doktrin keselamatan dan kekafiran dapat kita tinggalkan, sehingga kita dapat melepaskan segala prasangka terhadap sesama dan menjalani hidup ini secara lebih berwibawa sebagai orang-orang yang bebas.