Rabu, 17 November 2010

Refleksi Idul Adha: Mempertanyakan Kepatuhan Ibrahim

 

Setiap Tanggal 10 Dzul Hijjah dalam kalender Hijriyah, umat Islam di seluruh dunia merayakan festival kurban yang dikenal sebagai Idul Adha. Hari raya terbesar dalam Islam yang berkaitan langsung dengan ritual massif ibadah haji ini dilaksanakan untuk mengenang sosok nabi legendaris yang menjadi bapak monoteisme bagi tiga agama besar dunia: Ibrahim. Lalu siapakah sebenarnya Ibrahim yang menjadi tokoh sentral dalam perayaan ini?

Perjanjian Lama menyatakan bahwa Ibrahim atau Abraham hidup sekitar 4.000 tahun lalu di kawasan Mesopotamia yang kini dikenal sebagai Irak. Terlahir dalam lingkungan masyarakat politeistik, Ibrahim keluar dengan memperkenalkan konsep Tuhan yang satu dan berkelana ke banyak tempat dengan membawa konsep tersebut. Sumber-sumber Yahudi, Kristen, dan Islam mencantumkan alur yang bervariasi mengenai kisah hidupnya, namun salah satu adegan sentral yang diakui dalam ketiga agama tersebut adalah peristiwa penyembelihan anaknya. Pada suatu malam, Ibrahim bermimpi bahwa Tuhan yang satu yang dikenalnya itu telah menyuruhnya untuk menyembelih anaknya sendiri sebagai korban persembahan. Ia pun memutuskan untuk mematuhinya tanpa banyak membantah atau pun bertanya. Namun pada detik-detik terakhir menjelang penyembelihan, Tuhan menyelamatkan anak itu dan menggantinya dengan seekor domba. Untuk mengenang penggantian itu lah, umat Islam melaksanakan upacara kurban hewan ternak setiap tahunnya di hari Idul Adha.

Terlepas dari kebenarannya, kisah ini menyisakan satu pertanyaan misterius yang terus iinterpretasikan hingga hari ini: mengapa Tuhan menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri? Apa hikmah di balik perintah tersebut? Penjelasan paling populer di ketiga agama menyatakan bahwa Tuhan hendak menguji sejauh mana ketaatan Ibrahim dalam menjalankan perintah-Nya. Namun penjelasan ini menjadi janggal, karena Tuhan macam apa yang memerintahkan manusia untuk melanggar kemanusiaan dengan membunuh anaknya sendiri? Meski pun perintah itu akhirnya dibatalkan, Ibrahim di dalam niat dan pikirannya telah menyanggupi untuk membunuh anaknya sendiri. Rasional dari perintah penyembelihan ini tetap tidak ditemukan, dan seolah menjadi contoh bagaimana iman itu bekerja; bahwa ketika kamu telah sanggup mengalahkan akal dan nuranimu sendiri demi mematuhi perintah Tuhan, maka itu lah yang disebut iman yang kuat.

Di sisi lain, sikap submisif Ibrahim sangat patut dipertanyakan. Ketika mendapat perintah tersebut, Ibrahim sama sekali tidak membantah atau menggugat Tuhan. Bahkan sekadar bertanya mengenai alasan perintah itu pun tidak. Hal ini berlawanan dengan karakter Ibrahim sendiri yang dalam Islam dikenal sebagai sosok yang sangat kritis. Ibrahim dengan logikanya mampu membantah penyembahan berhala dalam masyarakatnya, seperti dalam kisah patung besar dan patung-patung kecil yang dikapaknya hingga hancur. Dalam Alkitab, sosok Abraham juga dikenal tak kalah kritisnya ketika Ia menggugat Tuhan atas rencana-Nya menghancurkan Kota Sodom tanpa pandang bulu. Lalu mengapa untuk hal ini, Ibrahim justru diam dan kehilangan sikap kritisnya? Seandainya Ibrahim setidaknya berani bertanya mengapa Tuhan menyuruhnya menyembelih anaknya sendiri, tentu kita tidak perlu bertanya-tanya lagi mengenai hal tersebut.

Kisah ini selesai begitu saja dengan seekor domba, dengan hikmah bahwa manusia tak perlu banyak bertanya atas apa yang Tuhan perintahkan pada dirinya. Seperti bunyi slogan dalam Islam, sami'na wa atho'na. Kami dengar dan kami patuh. Jika memang begitu, maka kisah ini sesungguhnya adalah tragedi. Kisah tragis mengenai seseorang yang semula kritis yang pada akhirnya dikalahkan oleh perintah tak rasional dari Tuhannya sendiri.

Senin, 15 November 2010

Mari Menjadi Agnostik

 Sebelumnya kami mengucapkan selamat datang di situs Agnostik Indonesia. Situs ini dibuka sebagai sarana untuk berbagi pengetahuan mengenai agnostik dan Agnostikisme. Situs ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk berdiskusi dan saling bertukar pikiran bagi sesama agnostik Indonesia maupun masyarakat yang tertarik dengan isu-isu agnostik.

Siapa itu agnostik?
Agnostik adalah seorang yang memegang pendapat bahwa keberadaan Tuhan serta hal-hal supranatural lainnya tidak bisa dibuktikan, atau setidaknya belum bisa dibuktikan sampai saat ini. Seorang agnostik menolak segala bentuk dogma dan indoktrinasi yang terdapat dalam agama atau ideologi apa pun. Paham yang dipegang oleh agnostik biasa disebut sebagai Agnostikisme.  

Mengapa perlu menjadi agnostik?
Dengan menjadi agnostik, maka kita telah membebaskan pikiran kita dari segala bentuk takhayul dan pembodohan tentang Tuhan. Kebebasan berpikir akan berimplikasi pada kebebasan kita dalam menjalani hidup dari segala dogma dan aturan yang selama ini dipaksakan atas nama Tuhan. Situs ini akan menjadi sarana lebih lanjut bagi kita untuk saling berbagi pengetahuan dan argumentasi mengenai pentingnya menjadi agnostik.

Bagaimana cara menjadi agnostik?
Agnostikisme bukan agama, tapi sebuah metode dan cara berpikir yang mengedepankan skeptisisme. Oleh karena itu, seorang agnostik adalah seseorang yang mampu berpikir kritis dan selalu menyandarkan keyakinannya pada bukti-bukti empiris. Jika kamu telah berani meletakkan tanda tanya di setiap hal yang sebelumnya kamu yakini begitu saja, maka kamu sudah dapat disebut sebagai seorang agnostik.

Selain berbagi pengetahuan dan argumentasi, di sini kita juga akan berdiskusi mengenai eksistensi dan peran agnostik dalam konteks masyarakat Indonesia. Selamat bergabung dan selamat berpikir! :)