Sabtu, 04 Desember 2010

Asing Di Negeri Sendiri


Desember telah tiba. Kalau kamu jalan-jalan ke mall, pasti sudah mulai lihat kan? Apalagi kalau bukan aneka dekorasi untuk menyambut musim natal. Pohon cemara, sinterklas, boneka salju, juga lampu kerlap-kerlip, semuanya tampak semarak di tengah hiruk-pikuk pengunjung mall yang tengah berbelanja. Sementara di jalanan, iring-iringan mobil dan bis baru saja berlalu membawa rombongan yang hendak menyambut kedatangan jamaah haji kembali ke tanah air. Samar-samar kemudian terdengar suara adzan maghrib bersahutan dari menara-menara masjid di permukiman.

Indonesia adalah negeri orang-orang beragama. Ke mana pun matamu memandang, pasti kamu akan menemukan sesuatu yang berhubungan dengan agama. Entah simbol, ritual, rumah ibadah, dan lain sebagainya. Sekilas sih wajar-wajar saja, tapi pernahkah kamu berpikir bahwa ada yang janggal dengan semua ini? Sinterklas yang berbaju tebal dan hangat itu memang cocok di daerah bersalju, tapi akan aneh sekali di Indonesia yang panas seperti ini. Lebih aneh lagi, kita juga memasang dekorasi salju! Padahal jujur saja, berapa sih dari kita yang pernah benar-benar melihat salju?
Mungkin kamu bertanya, "Memangnya kenapa? Begitu saja kok dipermasalahkan?"
Perayaan natal di abad 21 ini, seperti juga perayaan hari besar agama lainnya, memang sudah banyak dibajak oleh kepentingan pengusaha untuk menjual produk mereka sebanyak-banyaknya. Kalau kamu paham, itu bagus. Tapi mari kita lihat dalam lingkup yang lebih luas lagi. Apakah di gerejamu sedang ada perbincangan dan tawaran untuk tour ke Holy Land? Mungkin merayakan natal di Betlehem, baptis di sungai Jordan, atau berkunjung ke kapel Sistina di Vatikan. Orang-orang berduit yang religius biasanya suka dengan wisata rohani semacam ini. Tapi pikirkan baik-baik, mengapa harus sejauh itu? Apakah Tuhan lebih dekat di sana daripada di sini? Kalau kamu seorang kristen, kamu layak untuk bertanya: mengapa simbol-simbol agamamu terasa sangat Eropa? Mengapa hujan salju terasa 'lebih christmas' ketimbang hujan gerimis, misalnya?

Bagi orang Islam, perjalanan haji tidak main-main. Ia merupakan rukun kelima, salah satu dari pilar terpenting yang yang wajib dijalani sebagai muslim. Seorang yang punya uang namun enggan berhaji, maka dia bisa dipertanyakan keislamannya. Tidak heran jika setiap tahunnya Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia mengirimkan hingga ratusan ribu jamaah haji ke tanah Arab. Namun lagi-lagi, mengapa harus sejauh itu untuk menjadi tamu Tuhan? Lalu mereka akan pulang membawa oleh-oleh kurma dan air zam-zam.
"Ini kurma ajwa, yang disebut-sebut dalam hadits dapat menyembuhkan berbagai penyakit."
"Minum lah air zam-zam sambil berdoa, ini air suci dari mata air yang dibuat Nabi Ismail dahulu kala."
Tidakkah kamu berpikir, mengapa harus kurma? Mengapa harus ke jazirah Arab? Mengapa kalau Bulan Ramadhan, tiba-tiba banyak dekorasi gambar unta? Mengapa semuanya begitu asing dari kehidupan kita sehari-hari yang tinggal di kepulauan tropis ini?

Sekarang mari kita berpikir tentang kemungkinan lain. Bayangkan bahwa misalnya agama Kristen lahir di Kalimantan, dan Paus bertakhta di Palangkaraya. Umat Kristen sedunia akan berziarah menapak tilasi pelayanan Putra Tuhan yang dibaptis di sungai Mahakam dan disalib di Meratus. Mungkin Roh Kudus akan turun dalam bentuk burung enggang, dan tidak ada mahkota mawar melainkan mahkota anggrek hutan.
Bayangkan bahwa agama Islam itu berasal dari Bali. Umat Islam sedunia melaksanakan ibadah haji ke Denpasar, dan sholat lima waktu berkiblat ke sana. Oleh-oleh mereka bukan air dari sumur zam-zam, tapi dari petirtaan di kaki Gunung Agung. Adzan yang dikumandangkan dalam Bahasa Bali, dan mereka menyepi saat Tahun Baru Hijriyah.

Tapi itu hanya andai-andai saja. Kenyataannya, Paus bertakhta di Roma dan Islam lahir di Arab. Jadi sekarang kamu paham kan, kenapa pohon cemara dan bukan pohon beringin? Kenapa buah kurma dan bukan buah mangga? Maka ini lah Indonesia, di mana orang-orang beragamanya harus meniru dan berkiblat ke ujung dunia untuk mendekat pada Tuhannya.
Sampai kapan kita akan begini? Kamu lah yang harus menjawabnya.

5 komentar:

  1. ha-ha-ha... mas-mas,

    Natalan tahun lalu di gerejaku gak pakai pohon cemara mas... tapi pakai pohon kelapa lengkap dengan buah kelapanya....
    semua hepi-hepi saja tuh mas... lha memang sebenarnya pohon cemara dan salju gak pernah disebut-sebut di alkitab waktu kelahiran yesus kok... Saya sendiri gak punya pohon natal, alias pohon cemara di rumah....

    Terus kalau Om Sinterklas mau pakai surjan plus blangkon jawa lalu naik becak atau dokar, juga boleh-boleh saja kok... legenda Santa Claus itukan pinter-pinternya Om-om di Eropa sana untuk menyenangkan keponakan atau anak-anaknya...

    .... di gereja kami pada bulan-bulan tertentu ibadah dilakukan dengan berbagai nuansa: jawa, betawi, sunda, bali, papua, betawi, padang... dll.
    Tahun ini pakai nuansa yang internasional: afrika, eropa, arab, amerika, india.. dll
    pakaian, lagu,musik pengiringpun menyesuaikan dengan nuansa-nuansa tersebut...

    memang sih, ada beberapa jemaat yang merasa tidak nyaman. Saat nuansa arab: aahh masak di gereja iringannya gambus padang pasir? Saat nuansa betawi: aahh masak di gereja pakai peci dan sarung...

    tapi itu wajar.... yang penting kami belajar bahwa walau awal muasal kekristenan adalah dari Israel dan disebarkan ke indonesia oleh orang-orang Eropa.. namun iman kekristenan tidak terikat pada simbolisasi yang berasal dari dua bangsa tersebut: Israel dan Eropa...

    Lalu, tentang Holyland? Terus terang saya pingin ke sana... tapi tidak untuk ziarah... tidak untuk ibadah... Lha ngapain ibadah harus jauh-jauh ke sana? terus kalau ziarah, saya mending ke kuburan nenek saya di kampung... ikut bersih-bersih makamnya. Kalau saya ke HolyLand ya pingin tahu saja: Oooo ini to tempat lahirnya yesus, oooo ini to sungai yordan.... oooo ini to bukit golgota... lalu foto-foto. Jadi kalau pas mendengarkan kotbah yg disampaikan pendeta, saya bisa sedikit lebih menjiwai karena membayang-bayangkan tempatnya...

    Lalu kalau Vatican? Saya pernah sekali ke sana... tapi tidak khusus-khusus untuk ibadah (sekali lagi, ngapain jauh-jauh ibadah ke sana?)... kebetulan saja lagi dinas ke Eropa, terus memanfaatkan visa Sechengennya.. lalu mampir ke Vatican. Lha, di sana apa tidak ke gereja? Ya ke gereja, ikut ibadah, ikut nyanyi... jadi bisa merasakan ibadah dalam bahasa Italy, (jadi gak tahu isi kotbahnya he-he)... Tapi itu semua tidak berpengaruh kepada keimanan saya... sama saja, mau ibadah di vatican mau ibadah di bekasi... mau ibadah di gunung kidul... sama saja... Saya malah ngeri lihat gereja-gereja di sana: terlalu besar dan terlalu mewah....

    bagi saya, keimanan kristen saya tidak dibatasi oleh ruang, waktu dan simbol-simbol kekristenan... di manapun, dalam kondisi apapun, dengan nuansa apapun kita bisa beribadah...

    Nah Kalau, di mall-mall banyak yang jual pernak-pernik natal.... ya itu saya anggap wajar sajalah... namanya usaha... cari duit: pas natal yang jual hiasan natal, pas lebaran ya jual baju koko atau kurma dll, pas valentinan ya jual baju warna pinky, lalu pas bulan agustus rame-rame jual baju warna merah dan putih.....

    Lalu mengenai Tuhan? Saya memang tidak bisa membuktikan secara empiris bertemu secara fisik dengan Tuhan... apalagi bersalaman dan berpelukan.... tapi saya yakin Tuhan itu ada.

    Saya juga tidak bisa membuktikan keimanan saya yang "aneh": Yesus adalah anak Allah dan Yesus adalah Allah itu sendiri... apalagi ditambah dengan yang satu ini: Roh Kudus.
    Tapi bodohnya saya, saya ternyata mengimani hal tersebut.... Dan saya justru senang dan bersyukur dengan kebodohan saya itu...

    Entahlah... mungkin iman memang tak perlu pembuktian fisik.

    BalasHapus
  2. Brother kurang dalem bro. agak di luasin dikit lah. jangan kulitnya doang (ritual).

    BalasHapus