Bebaskan Pikiranmu!
Situs Agnostik Indonesia
Sabtu, 26 Mei 2012
Apa Urusanmu?
Tinggal seminggu lagi menuju konser Lady Gaga di Gelora Bung Karno, Jakarta. Pihak-pihak yang merasa berkepentingan baik dari kubu pro maupun kontra semakin berdebar menanti apakah sang Mother Monster benar-benar akan tiba di Indonesia. Energi bangsa pun sekali lagi terkuras untuk isu yang sebenarnya sepele ini. "Plis deh, ngga penting banget!" Toh Lady Gaga cuma akan manggung selama kurang lebih dua jam, dan sebagian besar dari kita sudah pasti tidak akan menontonnya. Tapi apa mau dikata, isu ini sudah terlanjur menyedot perhatian seluruh media dan memaksa kita untuk mengikuti perkembangannya.
Mungkin kamu ngga peduli apakah Lady Gaga akan datang atau ngga. Saya juga ngga. Tapi yang harus kita pedulikan adalah orang-orang yang berusaha mencekal kedatangan Lady Gaga, khususnya FPI and the gank yang biasa main fisik. Kenapa kita harus peduli?
Pertama, karena mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Masih ingat kasus penyerangan diskusi Irshad Manji beberapa waktu lalu di Yogyakarta? Ini menunjukkan bahwa diskusi sipil yang sehat dan cerdas sudah tidak bisa lagi diharapkan. Kalau pun mereka mau berdiskusi, siapa yang bisa menjamin bahwa orang-orang seperti mereka tidak akan mengacungkan balok ketika kalah berargumen?
Kedua, karena mereka kerap menggunakan argumen yang tidak objektif. Mereka senang membawa ayat-ayat kitab suci dan teks-teks agama sebagai argumen utamanya. Padahal tidak semua orang percaya pada ayat-ayat yang mereka gunakan. Bahkan bagi orang yang percaya pun, belum tentu dia memahami ayat-ayat itu secara sama dengan yang penafsiran mereka. Sementara ruang publik bukan lah tempat untuk beradu argumen subjektif. Yang digunakan harus lah argumen objektif dan rasional, yang bisa dipahami dan diterima oleh semua kalangan, dari agama apa pun dan kepercayaan apa pun. Termasuk yang tidak beragama.
Ketiga, karena tidak ada jaminan bahwa suatu saat kita tidak akan jadi korban berikutnya. Lady Gaga dicekal karena disebut mengumbar aurat. Lalu apa batasan aurat itu? Bukankah mereka menganggap bahwa aurat wanita itu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan? Siap-siap saja kalau suatu saat mereka juga menggelar razia kerudung di jalanan. Kita yang tidak berkerudung kemudian ditangkapi atau digebuki karena dianggap mengumbar aurat. Itu baru soal aurat. Mereka pasti juga akan campur tangan di semua urusan. Mungkin bukan sekarang. Tapi nanti, begitu mereka memiliki kekuasaan lebih besar dan berani bertindak lebih jauh lagi. Maka kita harus peduli.
Kita tidak ingin melihat suatu masa di mana Indonesia seperti Iran di zaman awal revolusi Ayatullah. Ketika para professor ditangkapi dan universitas ditutup selama setahun dengan tuduhan sebagai sarang sekulerisme. Ketika para wanita dicopot dari jabatan strategis dan dipaksa mengenakan jubah hitam seluruh tubuh. Kalau pun Lady Gaga mengenakan pakaian aneh dan kacamata konyol, setidaknya tidak ada satu orang pun yang dipaksa untuk berpakaian seperti dia. Jelas sekali bedanya.
Selasa, 12 April 2011
Agama dan Moralitas
Selama ini agama selalu dikaitkan dengan moralitas. Hanya orang-orang beragama yang dianggap mampu menunjukkan sikap bermoral dan berintegritas. Semakin taat beragama, semakin bermoral lah ia. Sebaliknya semakin jauh dari agama, semakin bejat lah ia. Namun kasus Arifinto sekali lagi memberikan bukti bahwa mereka yang dianggap taat beragama tidak selalu bermoral bahkan saat diukur dengan standar moralnya sendiri.
Moralitas adalah standar yang kita gunakan untuk menentukan baik dan buruk. Yang menjadi pertanyaan, dari mana kah sumber moralitas tersebut? Orang-orang beragama akan mengangkat tinggi-tinggi kitab suci mereka sebagai sumber moralitas tertinggi, panduan ilahi untuk menentukan baik dan buruk. Agama mungkin saja mengatakan 'Jangan membunuh'. Tapi jika agama tidak mengatakan hal itu, apakah kita tidak tahu bahwa membunuh itu salah? Belum diketahui pasti bagaimana mekanisme moral bekerja dalam diri kita, namun manusia memang memiliki suatu alarm moral yang tertanam dalam dirinya. Saat melihat seorang nenek terjatuh dari tangga, alarm kita seketika akan berbunyi dan menyuruh kita berbuat sesuatu untuk menolongnya. Begitu pula saat melihat Arifinto yang digaji oleh keringat rakyat itu asyik menonton video porno di tengah sidang paripurna, alarm kita segera berbunyi untuk mengecamnya. Dan hal ini tidak ada hubungannya dengan perintah dalam agama.
Moralitas mungkin saja diperdebatkan serta dipertentangkan. Sebagian orang akan setuju bahwa wanita yang berpakaian minim itu tidak bermoral, tapi sebagian lain mungkin tidak menyetujuinya. Beragam alasan pun dapat mengemuka. Tapi ketika agama dipaksakan sebagai sumber moralitas dalam masyarakat, perdebatan ini akan rawan untuk dihentikan secara arogan. Agama itu suci dan absolut, sehingga standar yang telah ditetapkannya tak boleh dipertanyakan apalagi digugat. Arifinto di hati kecilnya bisa saja ingin menyetujui pornografi dan sudah terbukti menikmatinya. Tapi dia adalah seorang ustadz dan tafsir agamanya sudah menetapkan pornografi sebagai konten immoral. Maka jadi lah manusia munafik yang tidak integral antara standar moral dengan perilakunya. Di depan publik berteriak menolak pornografi, tapi diam-diam menikmatinya.
Agama bahkan dapat mengandung standar moral yang bertentangan dengan alarm moral kita sendiri. Umat Islam di Indonesia yang menolak penerapan syariat hukum rajam menunjukkan bahwa alarm moral mereka masih bekerja sehingga mampu menolak mekanisme hukuman sadis semacam itu.
Kita bisa menyebut alarm itu nurani, fitrah, intuisi, atau apa pun. Dan itu merupakan cara paling alami yang kita gunakan sebagai panduan dalam menjalani hidup. Mengikutinya secara jujur akan mendatangkan kedamaian jiwa, sesederhana itu. Tak perlu disogok surga atau ditakut-takuti dengan neraka seperti standar moral yang tertuang dalam agama. Seperti lirik sufi yang didendangkan Ahmad Dhani, "Jika surga dan neraka tak pernah ada, masih kah kau bersujud pada-Nya?"
Sabtu, 05 Maret 2011
Agama Sebagai Produk Budaya
Religion.... is 'Here is an idea or a notion that you're not allowed to say anything bad about; you're just not. Why not? — because you're not!' - Douglas Adams
Dalam iklim ilmiah saat ini di mana nyaris segala teori dan premis telah ditantang dan dipertanyakan secara empirik, agama merupakan satu-satunya pengecualian. Dia dianggap suci, agung, jauh di atas segalanya. Maka untuk alasan apa pun, kita dilarang untuk mempertanyakan apalagi mengritik doktrin-doktrin yang telah dibakukan dalam agama. Hal ini tentu menjadi batu sandungan bagi kita orang-orang yang menjunjung tinggi rasionalitas dan kebebasan berpikir.
Perkembangan hermeneutika dan biblical criticism dalam beberapa abad terakhir telah membawa sebuah pencerahan baru yang mengubah cara pandang kita selama ini terhadap agama. Arkeologi dan linguistik menyediakan metode ilmiah untuk melihat agama dari sudut pandang historis yang lengket budaya. Sementara perkembangan sejumlah cabang sains lainnya juga terus menggerus otoritas teks-teks keagamaan yang semula dianggap mutlak dan suci dari kesalahan. Berikut akan kita paparkan bersama sejumlah argumen yang membuktikan agama sebagai produk kultural yang tidak lepas dari bingkai sejarah manusia.
1. Teks-teks agama tertulis dalam bahasa dan huruf. kenyataan ini merupakan bukti paling kasat, karena sistem bahasa dan tulisan merupakan produk budaya manusia. Bahasa verbal oral yang mencakup unsur-unsur semantik dan gramatikal merupakan bagian dari sistem komunikasi yang dikembangkan oleh spesies kita sejak ribuan tahun yang lalu dalam mengakomodir kebutuhan bertukar informasi yang semakin kompleks. Bahasa tertulis berkembang belakangan, menandai fase baru dimulainya pencatatan sejarah manusia.Pembentukan karakter huruf dan sistem tulisan yang kompleks pun berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan menjadi salah satu jejak kebudayaan terpenting manusia.
Hingga saat ini, terdapat ribuan bahasa dan sistem tulisan yang semuanya merupakan produk budaya manusia. Semua bentuk artifak tertulis menggunakan salah satu dari sekian banyak bahasa dan sistem tulisan tersebut. Tak terkecuali kitab-kitab suci pun menggunakannya. Alkitab tertulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani, menggunakan sistem tulisan Ibrani dan Yunani yang berkembang perlahan-lahan dalam kebudayaan Laut Tengah. Al-Qur'an menggunakan bahasa dan huruf Arab yang berevolusi dari sistem tulisan Syriac dan rumpun bahasa Semitik. Bhagawad Gita menggunakan bahasa Sanskrit yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Indo-Arya. Begitu pula kitab-kitab lainnya. Berbagai doa liturgis, mantra, dzikir, dan ekspresi keagamaan lainnya termasuk nama Tuhan seluruhnya tertuang dalam bahasa dan sistem tulisan.
Menghadapi kenyataan ini, otoritas agama kerap berkilah dengan melakukan klaim bahwa bahasa kitab mereka adalah bahasa suci yang berbeda dari bahasa-bahasa lainnya. Begitu pula huruf-hurufnya merupakan huruf suci yang berbeda dari sistem tulisan lainnya. Klaim ini selain tidak memiliki dasar juga menunjukkan narsisme dan obsesi terhadap konsep kesucian yang membabi buta. Point ini menjadi bukti terkuat bahwa agama adalah produk budaya.
2. Antropomorfisme dan fitur-fitur budaya bertebaran dalam agama. Tuhan yang berbicara, yang melihat, yang mendengar, yang berbelas kasih, yang mengutuk dan murka adalah bukti bahwa konsep Tuhan dalam agama dikonstruksi berdasarkan refleksi tentang manusia itu sendiri. Tuhan dibayangkan sebagai sesuatu yang berpikir, yang memiliki emosi serta kehendak seperti manusia. Agama mengatributkan titel-titel sosial kepada Tuhan seperti Bapa, Raja, Tuan, dan sebagainya, yang semuanya bersumber pada sistem hierarki dalam masyarakat manusia.
Konsep-konsep dalam agama juga sarat mengandung fitur-fitur budaya. Alat-alat musik seperti seruling dan sitara, senjata perang seperti pedang dan panah, kendaraan seperti kereta kuda dan perahu, semua merupakan produk budaya manusia dan disebutkan berulang kali dalam teks-teks agama. Malaikat yang membawa pedang atau pun dewa yang bermain seruling merupakan contoh ironis bagaimana makhluk-makhluk ilahi tersebut menggunakan barang-barang penemuan manusia. Mereka juga digambarkan memiliki fisik dan berpakaian sesuai kebudayaan tempatnya berkembang. Dewa-dewi Romawi mengenakan toga dan memainkan harpa, Para daka dan dakini menari dengan balutan gaun India, sementara para malaikat Persia mengenakan jubah dan sorban. Tak diragukan lagi, agama bertumpu pada sistem kebudayaan di mana ia tumbuh. Setiap praktek keagamaan pun pada dasarnya tak dapat dipisahkan dari kebudayaan.
3. Isolasi dari budaya yang jauh. Agama-agama kuno umumnya berkembang dalam ruang lingkup geografis dan budaya tertentu, sehingga gagal dalam mengenali adanya budaya dan tradisi lain di belahan dunia yang berbeda. Alkitab sangat spesifik dalam mengenali bangsa-bangsa yang menghuni kawasan pesisir timur Mediterania pada sekitar 2.500 tahun yang lalu. Tapi di saat yang sama ia gagal mengenali adanya kebudayaan yang berkembang di India dan Cina dengan sistem kepercayaan berbeda. Al-Qur'an berhasil mengidentifikasi adanya kelompok-kelompok agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Sabi'an. Tapi ia gagal mengenali kelompok-kelompok agama yang berkembang di tempat yang terlalu jauh dari Arab. Sebaliknya agama-agama di India dan Cina pun gagal mengidentifikasi bentuk-bentuk kebudayaan dan sistem kepercayaan yang berkembang di Timur Tengah dan Eropa. Seluruh agama kuno di Asia, Eropa, dan Afrika gagal mengidentifikasi kebudayaan di benua Amerika, dan sebaliknya. Ini membuktikan bahwa lingkup pengetahuan agama terbatas hanya pada budaya lokal dan regional di mana ia lahir.
Kenyataan bahwa agama merupakan produk budaya berimplikasi pada sikap kita dalam menghadapinya. Agama tak perlu lagi disakralkan dan ditakuti sedemikian rupa dengan ancaman dosa dan neraka. Kita tidak bermaksud untuk mengesampingkan nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam agama. Namun dengan memahami hal ini, kita dapat lebih jernih dan bijak dalam memilah dan mengambil keputusan moral dalam hidup kita. Klaim-klaim usang seperti doktrin keselamatan dan kekafiran dapat kita tinggalkan, sehingga kita dapat melepaskan segala prasangka terhadap sesama dan menjalani hidup ini secara lebih berwibawa sebagai orang-orang yang bebas.
Jumat, 11 Februari 2011
Ekstrimisme & Bahaya Doktrin Keselamatan
Apakah kamu memiliki teman-teman dekat, keluarga, atau bahkan kekasih yang berbeda agama? Sebagian besar kita tentu memilikinya. Teman sekelas yang akrab, teman di kantor yang lucu, tetangga yang ramah, guru sekolah yang dikagumi, semua orang baik yang kebetulan berbeda agama dengan kita. Sekarang tanyakan pada diri kita sendiri: apakah mereka akan masuk neraka hanya karena menganut agama yang berbeda dengan kita?
Baru-baru ini, bangsa kita kembali tercoreng oleh dua aksi kekerasan sekaligus yang mengatasnamakan agama. Pembunuhan Jemaat Ahmadiyah di Pandeglang, Banten, serta pembakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah. Sebagai bangsa yang mengaku berbhinneka tunggal ika, sekali lagi kita dipermalukan oleh aksi-aksi yang sangat tidak menghormati perbedaan.
Mungkin benar bahwa kasus kekerasan itu hanya pengalihan isu sebagaimana kecurigaan yang beredar. Mungkin benar itu hanya ulah segelintir oknum yang memiliki kepentingan tertentu. Tapi hal itu tetap tidak akan terjadi seandainya masyarakat kita sudah cukup toleran dan dewasa dalam menghadapi perbedaan. Isu-isu agama dapat dimanfaatkan untuk menyulut konflik karena religiusitas masyarakat memang sangat mudah dipermainkan.Lalu apa sebenarnya akar dari segala bentuk aksi kekerasan atas nama agama yang kerap terjadi di negeri ini?
Ada satu tema yang telah menjadi tabu umum dalam kehidupan kita bermasyarakat: doktrin keselamatan. Sebuah doktrin kejam yang memvonis bahwa keselamatan abadi di akhirat kelak hanya akan didapatkan oleh penganut agamanya saja. Di masjid-masjid dan gereja-gereja, kita selalu diajarkan bahwa iman adalah satu-satunya jalan keselamatan. Hanya penganut agama kita yang akan masuk surga. Sisanya? Go to hell aja. Sebaik apa pun seseorang menjalani hidupnya, percuma saja jika dia percaya pada Tuhan yang salah. Sudah pasti ke neraka.
Doktrin keselamatan eksklusif ini telah membelenggu masyarakat ke dalam sekat-sekat batin yang sulit ditembus. Seberapa pun akrabnya kamu dengan teman yang berbeda agama, pembicaraan pasti akan terhenti ketika sampai pada topik keselamatan di akhirat. Tidak ada obrolan manis seperti, "Janji ya, kita akan ketemu di surga?" Mungkin dalam hati, kamu mengasihani temanmu yang baik itu, yang akan masuk neraka hanya karena agamanya. Apalagi kamu yang memiliki kekasih beda agama, pasti sangat menyakitkan.
Lebih jauh lagi, doktrin ini mendorong orang-orang yang memiliki belas kasih untuk mulai menyebarkan agamanya. Jika hanya agamanya yang mampu menyelamatkan, maka orang-orang baik ini tentu ingin sebanyak mungkin manusia selamat dengan cara memeluknya kan? Sebuah niat yang semestinya sangat mulia. Akan tetapi, dakwah dan misionari di satu sisi merupakan ancaman dan serangan bagi sisi lain. Dan ini lah pangkal dari segala konflik agama yang kita hadapi hari ini. Kelompok-kelompok agama yang berbeda akan saling mencurigai, saling merasa terancam bahwa penganutnya akan direbut dan dimurtadkan. Lahir lah konflik, pelarangan rumah ibadah, hingga kekerasan dan pembantaian atas nama agama.
Doktrin keselamatan adalah cara paling picik bagi sebuah agama untuk bertahan dan menambah pemeluknya. Ia mengandalkan ancaman dan rasa takut yang disebar bagi siapa pun yang menolak untuk meyakini agama tersebut. Lebih kejam dari teror bom, karena doktrin ini meneror pikiran kita dengan ilusi dan ketakutan yang tak mendasar. Teror pikiran akan melahirkan teror-teror lainnya dalam bentuk kekerasan dan diskriminasi. Maka tidak ada jalan lain, kita harus melawan doktrin ini!
Rabu, 29 Desember 2010
Indonesia Atau Malaysia?
Sedikit intermezzo di tengah semangat kita menantikan detik-detik pertandingan final Piala AFF di Gelora Bung Karno malam ini. Seorang supporter merah putih di luar stadion berteriak nyaring, "Al-Fatihah! Ya Allah, menangkan lah Indonesia!!"
Menurut kalian, apakah Allah akan mengabulkan doanya? Saya yakin di Malaysia saat ini pasti juga ada ribuan bahkan jutaan orang yang memiliki doa serupa, untuk memenangkan tim negara mereka. Indonesia dan Malaysia sama-sama negara mayoritas muslim, jadi sebagian besar pasti berdoa pada Tuhan yang sama. Dilematis ya, doa siapa yang harus dikabulkan Allah? Mari kita saksikan sama-sama, selamat menonton semuanya! :)
Menurut kalian, apakah Allah akan mengabulkan doanya? Saya yakin di Malaysia saat ini pasti juga ada ribuan bahkan jutaan orang yang memiliki doa serupa, untuk memenangkan tim negara mereka. Indonesia dan Malaysia sama-sama negara mayoritas muslim, jadi sebagian besar pasti berdoa pada Tuhan yang sama. Dilematis ya, doa siapa yang harus dikabulkan Allah? Mari kita saksikan sama-sama, selamat menonton semuanya! :)
Sabtu, 04 Desember 2010
Asing Di Negeri Sendiri
Desember telah tiba. Kalau kamu jalan-jalan ke mall, pasti sudah mulai lihat kan? Apalagi kalau bukan aneka dekorasi untuk menyambut musim natal. Pohon cemara, sinterklas, boneka salju, juga lampu kerlap-kerlip, semuanya tampak semarak di tengah hiruk-pikuk pengunjung mall yang tengah berbelanja. Sementara di jalanan, iring-iringan mobil dan bis baru saja berlalu membawa rombongan yang hendak menyambut kedatangan jamaah haji kembali ke tanah air. Samar-samar kemudian terdengar suara adzan maghrib bersahutan dari menara-menara masjid di permukiman.
Indonesia adalah negeri orang-orang beragama. Ke mana pun matamu memandang, pasti kamu akan menemukan sesuatu yang berhubungan dengan agama. Entah simbol, ritual, rumah ibadah, dan lain sebagainya. Sekilas sih wajar-wajar saja, tapi pernahkah kamu berpikir bahwa ada yang janggal dengan semua ini? Sinterklas yang berbaju tebal dan hangat itu memang cocok di daerah bersalju, tapi akan aneh sekali di Indonesia yang panas seperti ini. Lebih aneh lagi, kita juga memasang dekorasi salju! Padahal jujur saja, berapa sih dari kita yang pernah benar-benar melihat salju?
Mungkin kamu bertanya, "Memangnya kenapa? Begitu saja kok dipermasalahkan?"
Perayaan natal di abad 21 ini, seperti juga perayaan hari besar agama lainnya, memang sudah banyak dibajak oleh kepentingan pengusaha untuk menjual produk mereka sebanyak-banyaknya. Kalau kamu paham, itu bagus. Tapi mari kita lihat dalam lingkup yang lebih luas lagi. Apakah di gerejamu sedang ada perbincangan dan tawaran untuk tour ke Holy Land? Mungkin merayakan natal di Betlehem, baptis di sungai Jordan, atau berkunjung ke kapel Sistina di Vatikan. Orang-orang berduit yang religius biasanya suka dengan wisata rohani semacam ini. Tapi pikirkan baik-baik, mengapa harus sejauh itu? Apakah Tuhan lebih dekat di sana daripada di sini? Kalau kamu seorang kristen, kamu layak untuk bertanya: mengapa simbol-simbol agamamu terasa sangat Eropa? Mengapa hujan salju terasa 'lebih christmas' ketimbang hujan gerimis, misalnya?
Bagi orang Islam, perjalanan haji tidak main-main. Ia merupakan rukun kelima, salah satu dari pilar terpenting yang yang wajib dijalani sebagai muslim. Seorang yang punya uang namun enggan berhaji, maka dia bisa dipertanyakan keislamannya. Tidak heran jika setiap tahunnya Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia mengirimkan hingga ratusan ribu jamaah haji ke tanah Arab. Namun lagi-lagi, mengapa harus sejauh itu untuk menjadi tamu Tuhan? Lalu mereka akan pulang membawa oleh-oleh kurma dan air zam-zam.
"Ini kurma ajwa, yang disebut-sebut dalam hadits dapat menyembuhkan berbagai penyakit."
"Minum lah air zam-zam sambil berdoa, ini air suci dari mata air yang dibuat Nabi Ismail dahulu kala."
Tidakkah kamu berpikir, mengapa harus kurma? Mengapa harus ke jazirah Arab? Mengapa kalau Bulan Ramadhan, tiba-tiba banyak dekorasi gambar unta? Mengapa semuanya begitu asing dari kehidupan kita sehari-hari yang tinggal di kepulauan tropis ini?
Sekarang mari kita berpikir tentang kemungkinan lain. Bayangkan bahwa misalnya agama Kristen lahir di Kalimantan, dan Paus bertakhta di Palangkaraya. Umat Kristen sedunia akan berziarah menapak tilasi pelayanan Putra Tuhan yang dibaptis di sungai Mahakam dan disalib di Meratus. Mungkin Roh Kudus akan turun dalam bentuk burung enggang, dan tidak ada mahkota mawar melainkan mahkota anggrek hutan.
Bayangkan bahwa agama Islam itu berasal dari Bali. Umat Islam sedunia melaksanakan ibadah haji ke Denpasar, dan sholat lima waktu berkiblat ke sana. Oleh-oleh mereka bukan air dari sumur zam-zam, tapi dari petirtaan di kaki Gunung Agung. Adzan yang dikumandangkan dalam Bahasa Bali, dan mereka menyepi saat Tahun Baru Hijriyah.
Tapi itu hanya andai-andai saja. Kenyataannya, Paus bertakhta di Roma dan Islam lahir di Arab. Jadi sekarang kamu paham kan, kenapa pohon cemara dan bukan pohon beringin? Kenapa buah kurma dan bukan buah mangga? Maka ini lah Indonesia, di mana orang-orang beragamanya harus meniru dan berkiblat ke ujung dunia untuk mendekat pada Tuhannya.
Sampai kapan kita akan begini? Kamu lah yang harus menjawabnya.
Rabu, 17 November 2010
Refleksi Idul Adha: Mempertanyakan Kepatuhan Ibrahim
Setiap Tanggal 10 Dzul Hijjah dalam kalender Hijriyah, umat Islam di seluruh dunia merayakan festival kurban yang dikenal sebagai Idul Adha. Hari raya terbesar dalam Islam yang berkaitan langsung dengan ritual massif ibadah haji ini dilaksanakan untuk mengenang sosok nabi legendaris yang menjadi bapak monoteisme bagi tiga agama besar dunia: Ibrahim. Lalu siapakah sebenarnya Ibrahim yang menjadi tokoh sentral dalam perayaan ini?
Perjanjian Lama menyatakan bahwa Ibrahim atau Abraham hidup sekitar 4.000 tahun lalu di kawasan Mesopotamia yang kini dikenal sebagai Irak. Terlahir dalam lingkungan masyarakat politeistik, Ibrahim keluar dengan memperkenalkan konsep Tuhan yang satu dan berkelana ke banyak tempat dengan membawa konsep tersebut. Sumber-sumber Yahudi, Kristen, dan Islam mencantumkan alur yang bervariasi mengenai kisah hidupnya, namun salah satu adegan sentral yang diakui dalam ketiga agama tersebut adalah peristiwa penyembelihan anaknya. Pada suatu malam, Ibrahim bermimpi bahwa Tuhan yang satu yang dikenalnya itu telah menyuruhnya untuk menyembelih anaknya sendiri sebagai korban persembahan. Ia pun memutuskan untuk mematuhinya tanpa banyak membantah atau pun bertanya. Namun pada detik-detik terakhir menjelang penyembelihan, Tuhan menyelamatkan anak itu dan menggantinya dengan seekor domba. Untuk mengenang penggantian itu lah, umat Islam melaksanakan upacara kurban hewan ternak setiap tahunnya di hari Idul Adha.
Terlepas dari kebenarannya, kisah ini menyisakan satu pertanyaan misterius yang terus iinterpretasikan hingga hari ini: mengapa Tuhan menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri? Apa hikmah di balik perintah tersebut? Penjelasan paling populer di ketiga agama menyatakan bahwa Tuhan hendak menguji sejauh mana ketaatan Ibrahim dalam menjalankan perintah-Nya. Namun penjelasan ini menjadi janggal, karena Tuhan macam apa yang memerintahkan manusia untuk melanggar kemanusiaan dengan membunuh anaknya sendiri? Meski pun perintah itu akhirnya dibatalkan, Ibrahim di dalam niat dan pikirannya telah menyanggupi untuk membunuh anaknya sendiri. Rasional dari perintah penyembelihan ini tetap tidak ditemukan, dan seolah menjadi contoh bagaimana iman itu bekerja; bahwa ketika kamu telah sanggup mengalahkan akal dan nuranimu sendiri demi mematuhi perintah Tuhan, maka itu lah yang disebut iman yang kuat.
Di sisi lain, sikap submisif Ibrahim sangat patut dipertanyakan. Ketika mendapat perintah tersebut, Ibrahim sama sekali tidak membantah atau menggugat Tuhan. Bahkan sekadar bertanya mengenai alasan perintah itu pun tidak. Hal ini berlawanan dengan karakter Ibrahim sendiri yang dalam Islam dikenal sebagai sosok yang sangat kritis. Ibrahim dengan logikanya mampu membantah penyembahan berhala dalam masyarakatnya, seperti dalam kisah patung besar dan patung-patung kecil yang dikapaknya hingga hancur. Dalam Alkitab, sosok Abraham juga dikenal tak kalah kritisnya ketika Ia menggugat Tuhan atas rencana-Nya menghancurkan Kota Sodom tanpa pandang bulu. Lalu mengapa untuk hal ini, Ibrahim justru diam dan kehilangan sikap kritisnya? Seandainya Ibrahim setidaknya berani bertanya mengapa Tuhan menyuruhnya menyembelih anaknya sendiri, tentu kita tidak perlu bertanya-tanya lagi mengenai hal tersebut.
Kisah ini selesai begitu saja dengan seekor domba, dengan hikmah bahwa manusia tak perlu banyak bertanya atas apa yang Tuhan perintahkan pada dirinya. Seperti bunyi slogan dalam Islam, sami'na wa atho'na. Kami dengar dan kami patuh. Jika memang begitu, maka kisah ini sesungguhnya adalah tragedi. Kisah tragis mengenai seseorang yang semula kritis yang pada akhirnya dikalahkan oleh perintah tak rasional dari Tuhannya sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)